Alasan Mengapa NBA Tidak Pekerjakan Pelatih Perempuan. Pagi ini, 16 Oktober 2025, dunia basket Amerika lagi ramai dibahas soal pernyataan tajam dari pelatih tim perguruan tinggi perempuan terkenal, Dawn Staley. Ia yakin liga basket pria profesional takkan pernah siap angkat pelatih perempuan sebagai kepala pelatih seumur hidupnya. Pernyataan ini muncul pasca-wawancara di acara olahraga nasional, di mana Staley soroti betapa NBA—liga yang penuh prestasi—masih kaku soal inklusi gender di bangku pelatih. Sampai sekarang, belum ada satu pun pelatih kepala perempuan di NBA, meski ada kemajuan seperti asisten pelatih perempuan di beberapa tim. Ini bukan isu baru, tapi pernyataan Staley bikin diskusi panas lagi: kenapa liga sebesar ini masih tutup pintu? Jawabannya campur antara tekanan budaya, struktur industri, dan risiko bisnis yang bikin pemilik tim ragu. REVIEW FILM
Tekanan Scrutiny yang Berfokus pada Gender: Alasan Mengapa NBA Tidak Pekerjakan Pelatih Perempuan
Alasan utama NBA ragu hire pelatih perempuan ada di tekanan luar biasa yang bakal datang. Staley bilang, bayangkan tim besar kalah beberapa laga awal—kritik langsung bakal menyasar gender, bukan strategi atau performa. “Kalau tim itu gagal, sorotan bakal bilang ‘Lihat, perempuan nggak bisa handle tekanan,’ meski pelatih pria sering gagal tanpa tuduhan serupa,” katanya. Ini beneran masalah nyata: di liga di mana setiap kekalahan dibedah media 24 jam, pelatih perempuan bakal hadapi mikroskop ganda. Contoh, asisten pelatih perempuan pertama di NBA, yang mulai kerja 2014, sering dapat pujian tapi juga sindiran soal ‘kehadiran’ daripada kemampuan.
Tekanan ini bukan cuma dari fans atau media, tapi juga internal tim. Pemilik tim takut distraksi—bayangkan ruang ganti pria dengan pelatih perempuan, meski aturan liga sudah atur privasi ketat. Staley tambah, “NBA siap tampil inklusif di iklan, tapi pas urusan keputusan besar, mereka mundur.” Data tunjukkan, dari 30 tim NBA, cuma dua persen staf pelatih adalah perempuan, dan kebanyakan asisten junior. Ini bikin lingkaran setan: tanpa pengalaman, sulit naik ke posisi kepala, tapi tanpa posisi kepala, pengalaman tak datang. Hasilnya, liga tetap didominasi pola lama di mana kegagalan pelatih pria dianggap ‘pelajaran’, tapi buat perempuan bakal jadi ‘bukti’.
Kurangnya Pipeline Pengalaman dan Akses: Alasan Mengapa NBA Tidak Pekerjakan Pelatih Perempuan
Struktur industri basket juga jadi penghalang besar. NBA butuh pelatih dengan rekam jejak panjang—minimal 10 tahun di level pro atau perguruan tinggi—tapi perempuan jarang dapat akses ke jalur itu. Di perguruan tinggi pria, cuma 0,5 persen pelatih kepala adalah perempuan, sementara di WNBA, meski lebih inklusif, gaji dan sumber daya jauh di bawah NBA. Banyak talenta perempuan pilih tinggal di WNBA atau perguruan tinggi perempuan karena peluang lebih adil, seperti Staley yang bangun karir di sana dengan enam gelar juara.
Kurangnya pipeline ini diperburuk oleh jaringan relasi yang eksklusif. NBA sering rekrut pelatih dari kalangan mantan pemain pria yang punya koneksi langsung ke front office. Perempuan, yang jarang main di NBA, harus mulai dari nol: dari scout, asisten video, atau pelatih pengembangan pemain. Satu studi tahun lalu tunjukkan, dari 500 pelatih asisten di liga, cuma 10 yang perempuan, dan kebanyakan stuck di posisi bawah. Plus, biaya karir tinggi: pelatih NBA sering relokasi kota, kerja 80 jam seminggu, yang susah buat perempuan dengan keluarga. Hasilnya, banyak yang drop out sebelum capai level tinggi, bikin NBA kehilangan bakat potensial.
Bias Budaya dan Risiko Bisnis di Front Office
Pada akhirnya, keputusan ada di tangan front office yang didominasi pria. Dari 30 general manager NBA, semuanya pria, dan pemilik tim mayoritas miliarder laki-laki yang prioritas hasil cepat. Mereka lihat hire pelatih perempuan sebagai ‘risiko tinggi’—bukan karena kemampuan, tapi karena potensi backlash dari fans konservatif atau sponsor. Budaya patriarki ini dalam: liga sering promosi ‘diversitas’ lewat kampanye, tapi pas rekrutmen, kembali ke zona nyaman. Contoh, saat satu tim hire asisten perempuan 2023, itu jadi berita besar, tapi tak ubah pola keseluruhan.
Bias ini juga muncul di evaluasi: perempuan sering dinilai lebih keras soal pengetahuan taktik, meski data tunjukkan pelatih perempuan di level bawah punya win rate setara pria. Di WNBA, di mana perempuan lebih dominan, win rate tim dengan pelatih perempuan 55 persen, lebih tinggi dari rata-rata. Tapi NBA abaikan itu, takut ‘eksperimen’ bikin tim gagal musim krusial. Staley sebut, “Mereka siap hire perempuan sebagai GM atau eksekutif, tapi pelatih? Itu terlalu dekat dengan lapangan.” Ini bikin liga lambat berubah, meski ada dorongan dari pemain seperti LeBron yang dukung inklusi.
Kesimpulan
Alasan NBA belum pekerjakan pelatih perempuan campur tekanan scrutiny, kurangnya pipeline, dan bias budaya yang bikin front office ragu. Pernyataan Dawn Staley jadi pengingat keras: tanpa perubahan struktural, liga ini bakal ketinggalan era inklusi yang sudah datang di cabang olahraga lain. Tapi, ada harapan—dengan tekanan dari atlet dan fans, plus contoh sukses di WNBA, NBA bisa mulai buka pintu. Yang pasti, basket pria butuh pelatih perempuan bukan cuma buat keadilan, tapi inovasi: perspektif baru bisa bawa strategi segar yang liga ini haus. Waktu akan jawab, tapi kalau Staley benar, itu sayang besar buat olahraga yang katanya progresif.